Pulang Penuh Senyuman "Gede Prama"
Meminjam
sebuah cerita fantasi, suatu hari seorang pria kaya yang memiliki tiga
istri mau meninggal. Yang pertama dipanggil tentu saja yang ketiga
karena paling muda, paling menarik, sekaligus paling banyak memperoleh
perhatian. Tatkala istri ke tiga ini diberitahu bahwa suaminya akan
meninggal, ia langsung lari, membanting pintu, sambil berteriak kasar:
“mati saja sendiri!”.
Melihat respon istri ketiga yang sangat mengecewakan, pria kaya ini
kemudian memanggil istri kedua sambil menangis. Saat diberitahu bahwa
ajal telah dekat, wanita setengah baya ini berucap lembut: “Kanda, saya
hanya bisa menemanimu sampai di kuburan, setelah itu kanda mesti jalan
sendiri”. Maka semakin menangislah pria kaya yang menyesali hidupnya
ini. Dan karena tidak punya pilihan lain, terpaksa ia memanggil istri
pertama yang lama ia lupakan serta diperlakukan secara tidak pantas.
Dengan tangisan yang semakin dalam, lagi-lagi pria kaya ini
mengungkapkan kematian yang sudah dekat. Di luar dugaan, istri pertama
memegang tangan suaminya penuh kemesraan, tersenyum, mencium pipi sambil
berbisik: “Jangan khawatir kanda, saya akan menemanimu kemana pun dan
sampai kapan pun”.
Bila boleh jujur, cerita pria kaya ini adalah cerita kita semua
ketika menghadapi kematian. Istri ketiga adalah simbolik kekuasan dan
kekayaan materi. Begitu menarik dan seksinya kekuasaan dan kekayaan,
banyak orang bahkan melanggar agamanya agar bisa mendapatkan kekayaan.
Tidak sedikit manusia bahkan mengejar kekayaan dan kekuasaan sampai ke
alam mimpi. Titipan pesannya kemudian, jangankan setelah mati, ketika
tubuh ini masih segar bugar kalau kekayaan dan kekuasaan harus berlalu,
ia pasti berlalu. Sebagian orang kaya dan berkuasa bahkan didoakan cepat
sakit dan mati oleh sejumlah manusia ambisius.
Istri kedua tidak lain dan tidak bukan adalah tubuh fisik ini. Ia
juga sangat dimanjakan oleh manusia kekinian. Makan yang enak, rekreasi
yang mewah, tontotan menarik, kosmetik sampai dengan operasi plastik.
Semuanya menelan dana dan tenaga hidup yang tidak sedikit. Namun
sebagaimana sudah dicatat sejarah, tubuh ini hanya bisa menghantar
sampai di kuburan.
Dan istri pertama yang lama dilupakan, disepelekan dan ditinggalkan
adalah pelayanan kita pada kehidupan. Mencintai istri, melayani suami,
memfasilitasi anak-anak bertumbuh, menghormati atasan, menyayangi
bawahan, menolong siapa saja dan apa saja yang membutuhkan, melaksanakan
kerja sebaik-baiknya, itulah sebagian tugas-tugas pelayanan yang kerap
dilupakan orang. Di dunia spiritual disebut spiritualitas dalam
tindakan.
Dan sebagaimana dipesankan agama-agama, ketika pulang ke rumah
kematian kualitas pelayanan inilah yang menemani kita kemana saja
manusia pergi. Ia serupa dengan bayangan tubuh, ke mana pun tubuh pergi
ia senantiasa mengikuti.
Di Amerika sana pernah terjadi seorang pria mengalami pencerahan.
Esok harinya ia langsung melamar menjadi supir taksi. Tatkala ditanya
kenapa, ia menjawab lembut: “Di jalan raya ada banyak sahabat stres,
depresi yang memerlukan pertolongan”. Di Jepang, seorang kepala Biara
zen mengalami pencerahan. Di hari berikutnya ia melepaskan baju sucinya.
Saat ditanya, ia berbisik pelan: “Pelayanan saya tidak akan penuh
dengan mengenakan baju suci. Tidak mungkin saya menyapu, mencuci piring,
merapikan sandal orang bila mengenakan baju orang suci”.
Dengan kata lain, tugas mahluk tercerahkan hanya satu yakni
pelayanan. Dan sejujurnya, di setiap kesempatan kehidupan ada peluang
pelayanan. Terutama jika kita mau membukakan tangan untuk membantu. Ia
yang sudah melihat bahwa setiap gerak kehidupan adalah peluang
pelayanan, sesungguhnya sudah terbimbing pulang. Setelah pulang tidak
ada tugas lain terkecuali melaksanakan pelayanan. Karena pelayanan tidak
saja menjadi energi hidup mahluk tercerahkan, tetapi karena pelayanan
adalah hukum di balik kesempurnaan kehidupan.
Awan, langit, air, api, udara, pepohonan, binatang, manusia, mineral
semuanya ada untuk tugas-tugas pelayanan. Kapan saja manusia menyatu
dengan pelayanan, ia sudah pulang penuh senyuman.
Bahan Renungan:
1. Home alias rumah sejati, itulah kerinduan
banyak sekali orang. Di rumah seperti ini, semua tanpa kecuali menjadi
bahan-bahan kedamaian
2. Banyak yang mengira, tidak mungkin menemukan rumah di mana semua kejadian menjadi bahan-bahan kedamaian
3. Tapi bagi yang sudah pulang tahu, pelayanan itulah langkah terpenting untuk pulang ke rumah kedamaian
http://gedeprama.blogdetik.com/2012/08/03/pulang-penuh-senyuman/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar