Nyatakan Dengan Bunga
Suatu waktu Guru Nasrudin bepergian, kemudian meminta Nasrudin untuk
memberikan khotbah jumat tiga kali berturut-turut. Di jumat pertama
murid cerdas ini bertanya pada audiensnya: ‘apakah kalian sudah tahu
yang mau diceramahkan?”. Tentu semua menjawab tidak tahu. Mendengar ini,
Nasrudin langsung meninggalkan mimbar sambil bergumam: “saya tidak
boleh mengajarkan ajaran suci pada orang-orang yang belum siap”. Minggu
berikutnya, lagi-lagi ia bertanya pertanyaan yang sama. Tentu saja
semuanya menjawab serentak: “sudah!”. Kali ini pun pencinta lelucon
cerdas ini meninggalkan podium sambil berucap: “kalau sudah tahu, ilmu
ini tidak diperlukan”. Pada minggu terakhir, sebagian murid mengaku
sudah tahu, sebagian lagi menyebut belum tahu. Dengan tangkas Nasrudin
meminta tolong agar yang sudah tahu memberi yang belum tahu.
Bagi pencinta canda silahkan tertawa, tapi bagi penggali serius ke
dalam diri ini kotbah Nasrudin yang paling mengagumkan.
Kata-kata, suara, logika manusia semuanya selicin lidah yang mudah
berubah. Tidak saja mudah berubah dari segi pemilik lidah, juga mudah
berubah bagi yang mendengarkan. Demikian mudahnya berubah, sampai-sampai
dijadikan kuda tunggangan oleh kekuasaan dan keuangan. Itu sebabnya,
mulai ada manusia yang trauma mendengar ceramah agama. Terutama karena
di sebagian pojokan kehidupan, agama sudah menjadi kendaraan kekerasan.
Dulunya, menjumpai murid meditasi yang trauma karena orang tuanya
dibunuh di tahun 1965, keluarganya menjadi korban kerusuhan di tahun
1998, atau keluarga korban bom Bali 2002, sudah mengundang empati yang
mendalam. Belakangan, empati ini bercampur dengan perasaan tersentuh
secara mendalam karena ada murid yang datang ke tempat meditasi karena
trauma dengan agamanya setelah kerusuhan 1998. Di Barat puluhan tempat
ibadah bahkan dijual karena kehabisan umat. Thailand yang lama disebut
land of smile (tanah penuh senyuman), belakangan berubah menjadi land of
coup (tanah penuh kudeta). Tempat-tempat di mana pernah lahir buku suci
dan nabi (India-Pakistan, Israel-Palestina) sembua bergelora dengan
senjata. Sehingga menimbulkan pertanyaan, bila agama mulai kehilangan
karisma, manusia akan dibimbing oleh apa dan siapa? Lebih-lebih di zaman
di mana banyak sekali tempat membara oleh kekerasan.
Terpanggil oleh kepekaan seperti inilah, kemudian sebagian penggali
ke dalam diri kemudian menggali, menggali dan menggali. Meminjam
pengandaian seorang Guru, menggali ke dalam serupa menggali sumur.
Awalnya berjumpa lumpur, batu, kotoran (baca: cobaan, godaan, halangan,
kadang bisa disebut aneh), tapi siapa saja yang tekun menggali di suatu
waktu baru berjumpa kejernihan (baca: pencerahan). Ini yang bisa
menjelaskan, Bunda Teresa bahkan di lingkunan Katolik pun awalnya ada
yang mencaci. Di India sampai hari ini ada manusia yang membenci
Mahatma Gandhi. YM Dalai Lama kehilangan negara dan rakyatnya di umur
belasan tahun. Namun bukan mahluk agung namanya kalau dicaci menyerah,
bila dijelekkan kemudian dendam. Jenis pencari seperti ini terus
melakukan penggalian tanpa pernah terganggu oleh cacian dan makian.
Bagi kebanyakan orang, cacian dan makian seperti batu yang
dilemparkan ke diri ini. Namun bagi para suci, lemparan batu kebencian
memperkuat dugaan sebelumnya bahwa semua mahluk sedang menderita.
Memarahi dan membenci mereka hanya akan memperpanjang daftar panjang
penderitaan yang sudah panjang. Kesadaran bahwa para mahluk sedang
menderita membuat para suci semakin keras penggaliannya, sehingga bisa
cepat-cepat mengurangi penderitaan sebanyak mungkin mahluk.
Bunda Teresa menempuh jalan pelayanan di tengah kemiskinan yang
menggetarkan, Mohammad Yunus di Bangladesh bekerja keras di tengah
kotornya lumpur kemiskinan, YM Dalai Lama mundur dari singgasana
kekuasaan tatkala 99 % rakyatnya masih sangat mencintainya. Mantan wakil
presiden Amerika Serikat Al Gore tidak patah semangat setelah kalah
pemilihan presiden, belakangan malah menjadi pahlawan lingkungan
sedunia. Pelayanan, kerja keras, keteladanan, mencintai lingkungan
hanyalah sebagian contoh bagaimana para suci berusaha demikian
kencangnya mengurangi penderitaan para mahluk.
Dan di balik gemerlap keterkenalan, ada tidak terhitung manusia tidak
terkenal atau tidak mau dikenal yang bekerja juga sangat keras. Seorang
sahabat wartawan mewartakan, tatkala pencarian korban tsunami Aceh
sudah dihentikan oleh pemerintah, masih ada pekerja-pekerja kemanusiaan
yang menelusuri pantai Aceh, mencari korban, menguburkannya secara
manusiawi, merawat yang masih hidup. Dan yang paling mengagumkan,
tatkala mau diberitakan wartawan mereka menolak halus dan sopan.
Mungkin ini yang disebut Zenkei Shibayama dalam A Flower Doesn’t Talk sebagai Scripture of no Letters.
Buku suci tanpa huruf, tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Ia hanya berisi
pelayanan sesuai dengan panggilan kehidupan. Sesederhana matahari terbit
di pagi hari, bulan bersinar terang saat purnama. Demikian juga dengan
seorang Ibu yang menyayangi putera-puterinya, pekerja yang bekerja penuh
ketulusan, kasir yang melayani pelanggan penuh kejujuran dan senyuman.
Inilah bunga spiritual yang berbagi kewangian ke segala penjuru.
Kewangian yang amat sangat diperlukan di tengah merebaknya bau busuk
kekerasan di mana-mana.
Bahan renungan:
1. Di mana-mana sedang menyebar bau busuk kekerasan. Termasuk di tempat di mana manusia banyak berdoa
2. Bau busuk kekerasan ini memerlukan kekuatan pengimbang berupa wewangian spiritual
3. Wewangian spiritual yang terwangi (bunga
spiritualitas) adalah melakukan panggilan kehidupan dengan tulus, polos,
jujur dan ikhlas. Dalam bahasa seorang Guru, lakukan kebajikan,
kesabaran, ketulusan. Namun jangan lupa lepaskan hasilnya.
http://gedeprama.blogdetik.com/2012/09/14/nyatakan-dengan-bunga/