Sabtu, 22 September 2012

Nyatakan Dengan Bunga "Gede Prama"

Nyatakan Dengan Bunga


Suatu waktu Guru Nasrudin bepergian, kemudian meminta Nasrudin untuk memberikan khotbah jumat tiga kali berturut-turut. Di jumat pertama murid cerdas ini bertanya pada audiensnya: ‘apakah kalian sudah tahu yang mau diceramahkan?”. Tentu semua menjawab tidak tahu. Mendengar ini, Nasrudin langsung meninggalkan mimbar sambil bergumam: “saya tidak boleh mengajarkan ajaran suci pada orang-orang yang belum siap”. Minggu berikutnya, lagi-lagi ia bertanya pertanyaan yang sama. Tentu saja semuanya menjawab serentak: “sudah!”. Kali ini pun pencinta lelucon cerdas ini meninggalkan podium sambil berucap: “kalau sudah tahu, ilmu ini tidak diperlukan”. Pada minggu terakhir, sebagian murid mengaku sudah tahu, sebagian lagi menyebut belum tahu. Dengan tangkas Nasrudin meminta tolong agar yang sudah tahu memberi yang belum tahu.
Bagi pencinta canda silahkan tertawa, tapi bagi penggali serius   ke   dalam   diri   ini    kotbah    Nasrudin   yang   paling mengagumkan. Kata-kata, suara, logika manusia semuanya selicin lidah yang mudah berubah. Tidak saja mudah berubah dari segi pemilik lidah, juga mudah berubah bagi yang mendengarkan. Demikian mudahnya berubah, sampai-sampai dijadikan kuda tunggangan oleh kekuasaan dan keuangan. Itu sebabnya, mulai ada manusia yang trauma mendengar ceramah agama. Terutama karena di sebagian pojokan kehidupan, agama sudah menjadi kendaraan kekerasan.
Dulunya, menjumpai murid meditasi yang trauma karena orang tuanya dibunuh di tahun 1965, keluarganya menjadi korban kerusuhan di tahun 1998, atau keluarga korban bom Bali 2002, sudah mengundang empati yang mendalam. Belakangan, empati ini bercampur dengan perasaan tersentuh secara mendalam karena ada murid yang datang ke tempat meditasi karena trauma dengan agamanya setelah kerusuhan 1998. Di Barat puluhan tempat ibadah bahkan dijual karena kehabisan umat. Thailand yang lama disebut land of smile (tanah penuh senyuman), belakangan berubah menjadi land of coup (tanah penuh kudeta). Tempat-tempat di mana pernah lahir buku suci dan nabi (India-Pakistan, Israel-Palestina) sembua bergelora dengan senjata. Sehingga menimbulkan pertanyaan, bila agama mulai kehilangan karisma, manusia akan dibimbing oleh apa dan siapa? Lebih-lebih di zaman di mana banyak sekali tempat membara oleh kekerasan.
Terpanggil oleh kepekaan seperti inilah, kemudian sebagian penggali ke dalam diri kemudian menggali, menggali dan menggali. Meminjam pengandaian seorang Guru, menggali ke dalam serupa menggali sumur. Awalnya berjumpa lumpur, batu, kotoran (baca: cobaan, godaan, halangan, kadang bisa disebut aneh), tapi siapa saja yang tekun menggali di suatu waktu baru berjumpa kejernihan (baca: pencerahan). Ini yang bisa menjelaskan, Bunda Teresa bahkan di lingkunan Katolik pun  awalnya  ada  yang  mencaci. Di India sampai hari ini ada manusia yang membenci Mahatma Gandhi. YM Dalai Lama kehilangan negara dan rakyatnya di umur belasan tahun. Namun bukan mahluk agung namanya kalau dicaci menyerah, bila dijelekkan kemudian dendam. Jenis pencari seperti ini terus melakukan penggalian tanpa pernah terganggu oleh cacian dan makian.
Bagi kebanyakan orang, cacian dan makian seperti batu yang dilemparkan ke diri ini. Namun bagi para suci, lemparan batu kebencian memperkuat dugaan sebelumnya bahwa semua mahluk sedang menderita. Memarahi dan membenci mereka hanya akan memperpanjang daftar panjang penderitaan yang sudah panjang. Kesadaran bahwa para mahluk sedang menderita membuat para suci semakin keras penggaliannya, sehingga bisa cepat-cepat mengurangi penderitaan sebanyak mungkin mahluk.
Bunda Teresa menempuh jalan pelayanan di tengah kemiskinan yang menggetarkan, Mohammad Yunus di Bangladesh bekerja keras di tengah kotornya lumpur kemiskinan, YM Dalai Lama mundur dari singgasana kekuasaan tatkala 99 % rakyatnya masih sangat mencintainya. Mantan wakil presiden Amerika Serikat Al Gore tidak patah semangat setelah kalah pemilihan presiden, belakangan malah menjadi pahlawan lingkungan sedunia. Pelayanan, kerja keras, keteladanan, mencintai lingkungan hanyalah sebagian contoh bagaimana para suci berusaha demikian kencangnya mengurangi penderitaan para mahluk.
Dan di balik gemerlap keterkenalan, ada tidak terhitung manusia tidak terkenal atau tidak mau dikenal yang bekerja juga sangat keras. Seorang sahabat wartawan mewartakan, tatkala pencarian korban tsunami Aceh sudah dihentikan oleh pemerintah, masih ada pekerja-pekerja kemanusiaan yang menelusuri  pantai  Aceh,   mencari  korban,  menguburkannya secara manusiawi, merawat yang masih hidup. Dan yang paling mengagumkan, tatkala mau diberitakan wartawan mereka menolak halus dan sopan.
Mungkin ini yang disebut Zenkei Shibayama dalam A Flower Doesn’t Talk sebagai Scripture of no Letters. Buku suci tanpa huruf, tanpa kata-kata, tanpa bahasa. Ia hanya berisi pelayanan sesuai dengan panggilan kehidupan. Sesederhana matahari terbit di pagi hari, bulan bersinar terang saat purnama. Demikian juga dengan seorang Ibu yang menyayangi putera-puterinya, pekerja yang bekerja penuh ketulusan, kasir yang melayani pelanggan penuh kejujuran dan senyuman. Inilah bunga spiritual yang berbagi kewangian ke segala penjuru. Kewangian yang amat  sangat diperlukan di tengah merebaknya bau busuk kekerasan di mana-mana.

Bahan renungan:
1. Di mana-mana sedang menyebar bau busuk kekerasan. Termasuk di tempat di mana manusia banyak berdoa
2. Bau busuk kekerasan ini memerlukan kekuatan pengimbang berupa wewangian spiritual
3. Wewangian spiritual yang terwangi (bunga spiritualitas) adalah melakukan panggilan kehidupan dengan tulus, polos, jujur dan ikhlas. Dalam bahasa seorang Guru, lakukan kebajikan, kesabaran, ketulusan. Namun jangan lupa lepaskan hasilnya.


http://gedeprama.blogdetik.com/2012/09/14/nyatakan-dengan-bunga/


Pulang Penuh Senyuman

Pulang Penuh Senyuman "Gede Prama"

d358e404ed16149ea195d19921e6a802_peaceMeminjam sebuah cerita fantasi, suatu hari seorang pria kaya yang memiliki tiga istri mau meninggal. Yang pertama dipanggil tentu saja yang ketiga karena paling muda, paling menarik, sekaligus paling banyak memperoleh perhatian. Tatkala istri ke tiga ini diberitahu bahwa suaminya akan meninggal, ia langsung lari, membanting pintu, sambil berteriak kasar: “mati saja sendiri!”.
Melihat respon istri ketiga yang sangat mengecewakan, pria kaya ini kemudian memanggil istri kedua sambil menangis. Saat diberitahu bahwa ajal telah dekat, wanita setengah baya ini berucap lembut: “Kanda, saya hanya bisa menemanimu sampai di kuburan, setelah itu kanda mesti jalan sendiri”. Maka semakin menangislah pria kaya yang menyesali hidupnya ini. Dan karena tidak punya pilihan lain, terpaksa ia memanggil istri pertama yang lama ia lupakan serta diperlakukan secara tidak pantas. Dengan tangisan yang semakin dalam, lagi-lagi pria kaya ini mengungkapkan kematian yang sudah dekat. Di luar dugaan, istri pertama memegang tangan suaminya penuh kemesraan, tersenyum, mencium pipi sambil berbisik: “Jangan khawatir kanda, saya akan menemanimu kemana pun dan sampai kapan pun”.
Bila boleh jujur, cerita pria kaya ini adalah cerita kita semua ketika menghadapi kematian. Istri ketiga adalah simbolik kekuasan dan kekayaan materi. Begitu menarik dan seksinya kekuasaan dan kekayaan, banyak orang  bahkan melanggar agamanya agar bisa mendapatkan kekayaan. Tidak sedikit manusia bahkan mengejar kekayaan dan kekuasaan sampai ke alam mimpi. Titipan pesannya kemudian, jangankan setelah mati, ketika tubuh ini masih segar bugar kalau kekayaan dan kekuasaan harus berlalu, ia pasti berlalu. Sebagian orang kaya dan berkuasa bahkan didoakan cepat sakit dan mati oleh sejumlah manusia ambisius.
Istri kedua tidak lain dan tidak bukan adalah tubuh fisik ini. Ia juga sangat dimanjakan oleh manusia kekinian. Makan yang enak, rekreasi yang mewah, tontotan menarik, kosmetik sampai dengan operasi plastik. Semuanya menelan dana dan tenaga hidup yang tidak sedikit. Namun sebagaimana sudah dicatat sejarah, tubuh ini hanya bisa menghantar sampai di kuburan.
Dan istri pertama yang lama dilupakan, disepelekan dan ditinggalkan adalah pelayanan kita pada kehidupan. Mencintai istri, melayani suami, memfasilitasi anak-anak bertumbuh, menghormati atasan, menyayangi bawahan, menolong siapa saja dan apa saja yang membutuhkan, melaksanakan kerja sebaik-baiknya, itulah sebagian tugas-tugas pelayanan yang kerap dilupakan orang. Di dunia spiritual disebut spiritualitas dalam tindakan.
Dan sebagaimana dipesankan agama-agama, ketika pulang ke rumah kematian kualitas pelayanan inilah yang menemani kita kemana saja manusia pergi. Ia serupa dengan bayangan tubuh, ke mana pun tubuh pergi ia senantiasa mengikuti.
Di Amerika sana pernah terjadi seorang pria mengalami pencerahan. Esok harinya ia langsung melamar menjadi supir taksi. Tatkala ditanya kenapa, ia menjawab lembut: “Di jalan raya ada banyak sahabat stres, depresi yang memerlukan pertolongan”. Di Jepang, seorang kepala Biara zen mengalami pencerahan. Di hari berikutnya ia melepaskan baju sucinya. Saat ditanya, ia berbisik pelan: “Pelayanan saya tidak akan penuh dengan mengenakan baju suci. Tidak mungkin saya menyapu, mencuci piring, merapikan sandal orang bila mengenakan baju orang suci”.
Dengan kata lain, tugas mahluk tercerahkan hanya satu yakni pelayanan. Dan sejujurnya, di setiap kesempatan  kehidupan ada peluang pelayanan. Terutama jika kita mau membukakan tangan untuk membantu. Ia yang sudah melihat bahwa setiap gerak kehidupan adalah peluang pelayanan, sesungguhnya sudah terbimbing pulang. Setelah pulang tidak ada tugas lain terkecuali melaksanakan pelayanan. Karena pelayanan tidak saja menjadi energi hidup mahluk tercerahkan, tetapi karena pelayanan adalah hukum di balik kesempurnaan kehidupan.
Awan, langit, air, api, udara, pepohonan, binatang, manusia, mineral semuanya ada untuk tugas-tugas pelayanan. Kapan saja manusia menyatu dengan pelayanan, ia sudah pulang penuh senyuman.

Bahan Renungan:

1. Home alias rumah sejati, itulah kerinduan banyak sekali orang. Di rumah seperti ini, semua tanpa kecuali menjadi bahan-bahan kedamaian
2. Banyak yang mengira, tidak mungkin menemukan rumah di mana semua kejadian menjadi bahan-bahan kedamaian
3. Tapi bagi yang sudah pulang tahu, pelayanan itulah langkah terpenting untuk pulang ke rumah kedamaian


http://gedeprama.blogdetik.com/2012/08/03/pulang-penuh-senyuman/

Gede Prama " The Power of Silence"

Dulu Saya adalah seorang anak yang sangat Emosional ,karena sifat emosi itu , saya mengalami berbagai macam masalah , Diri tidak pernah tenang , gelisah dan Bisa dikatakan pemberontak ..
Tapi , Tuhan tidak pernah meninggalkan saya sendiri , Beliau Selalu ada untukku , aku percaya Beliaulah yang telah membatu merubah diri saya menjadi lebih tenang dan lebih memahami konsep kehidupan ,
Dalam blog ini saya akan Menna ngutip semua Nasehat Beliau dan ajaran ajarannya , berikut adalah Biografi dari Beliau :



Sekilas Gede Prama

 

Gede Prama adalah seorang murid di jalan meditasi. Mulai belajar meditasi sejak kecil dengan dibimbing Guru simbolik di desa Tajun Bali Utara. Bea siswa pernah membawanya belajar hingga ke Inggris serta Perancis. Karirnya di dunia korporasi naik setapak demi setapak hingga kursi tertinggi (CEO). Sebagai konsultan, ia pernah menjadi konsultan manajemen di perusahaan televisi RCTI, perusahaan taksi Blue Bird dll.
Namun semua itu ia tinggalkan di umur 39 tahun, untuk kemudian memasuki dunia pelayanan. Maka dari itulah, Gede Prama sudah menerbitkan puluhan judul buku (sebagian dalam bahasa Inggris), ribuan artikel, pesan-pesannya menyebar melalui banyak radio, televisi, internet, dan media cetak. Membimbing sejumlah murid meditasi di Bali, Jakarta, dll. Pernah menjadi penulis tetap di harian Kompas, Tempo, majalah SWA serta majalah Info Bank. Karya terakhirnya berjudul: “Setenang Pepohonan, Selembut Rerumputan: Menyembuhkan, Mendamaikan Diri Dari Dalam” (Penerbit Karaniya 2011).
Tidak saja dalam kehidupan duniawi Gede Prama penuh ketekunan, dalam kehidupan spiritual juga serupa. Itu sebabnya ia pernah belajar spiritualitas langsung dari HH Dalai Lama di Dharamsala India Utara, berjumpa Lama Zopa Rinpoche serta YA Thich Nhat Hanh. Kendati demikian, ia tidak pernah berhenti belajar untuk semakin rendah hati.
Untuk mendukung kehidupannya sebagai pelayan, Gede Prama masih mengajar di dunia korporasi di Jakarta, Hongkong, Melbourne, Kuala Lumpur dan sejumlah kota lainnya. Sebagai pembicara publik, ia pernah menjadi nara sumber di berbagai forum (National, International) serta diundang World Bank, Unilever Global, IBM, Microsoft, Citibank dll .